Senin, 30 Desember 2019

Merenung: Menyambut Akhir Tahun

Tanggal 29 Desember 2019, dalam halaqah ahad pagi.
Pemateri: Ustdz. Fathkhurakhim

Tema: Refleksi Akhir Tahun
Refleksi yang dimaksud dalam hal ini adalah merenungkan dalam artian membaca atau merenungi setahun yang lalu kita sudah melakukan apa saja. Gerakan atau perubahan apa yang sudah dilalui. Di akhir tahun ini (tahun masehi) kita memang tidak lepas dari kalender masehi karena dalam aktivitas sehari-hari di negara kita masih menggunakan penanggalan masehi. Artinya orang-orang di Indonesia tidak lepas dari perayaan tahun baru masehi. Menyambut tahun baru identik dengan perayaan yang bermacam-macam dari liburan sampai menyalakan kembang api dan dari yang bermanfaat sampai yang membawa mudharat. Itu adalah sebuah pilihan, kita menyambut dengan yang bermanfaat atau yang mudharat.

Akhir tahun ini banyak yang menyiapkan untuk menyambut tahun baru di akhir tahun. Seringkali diri lupa untuk merenungi apa saja yang sudah dilalui dan apakah sudah menyiapkan resolusi-resolusi tahun berikutnya? boleh saja kita menyambut tahun baru, tapi baiknya adalah merenungi apa saja yang sudah terjadi dalam hidup. "Jika hari ini sama dengan yang lalu, maka kita akan rugi dan jika hari ini lebih buruk dari yang lalu, maka itu adalah sebuah bencana". Itulah mengapa pentingnya merenungi diri kita untuk melakukan suatu perubahan dan perbaikan dalam hidup.

Dalam QS.Al Fathir menyebutkan beberapa golongan, yaitu ada 3 golongan manusia:
1. Golongan manusia yang mendzalimi diri sendiri, yang suka berbuat maksiat dan tidak sadarkan diri bahwa ia mendzalimi diri sendiri. Golongan manusia ini dikendalikan dengan Nafsu Ammarah, yaitu nafsu yang berbahaya jika melekat dalam diri manusia. Nafsu ini bisa dikatakan mematikan rohani dalam diri manusia.
2. Golongan manusia yang yang tengah-tengah (Al Muktasit), manusia golongan ini sering lalai dalam kehidupannya meskipun lalai, tapi tidak lupa untuk beristighfar atau memohon ampun. Golongan ini dikendalikan oleh Nafsu Lawwamah, yaitu nafsu yang sudah dapat membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Ketika melakukan kesalahan maka akan bertaubat dan berusaha untuk tidak mengulangi nya lagi.
3. Golongan manusia yang berusaha menjadi yang terbaik (Sabiqun bil Khairat), golongan manusia yang senantiasa menjaga lisan dan suka berbuat kebaikan. Golongan ini dikendalikan oleh nafsu Mutmainnah, yaitu nafsu yang baik atau yang disenangi oleh Allah.

Manusia adalah makhluk yang sempurna karena mempunyai keunggulan yaitu nafsu, akal dan rohani. Tidak ada makhluk ciptaan Allah yang mempunyai ketiga unsur tersebut selain manusia. Manusia (Al Mukarawun) bisa melebihi malaikat jika dapat mengendalikan ketiga unsur tersebut. Malaikat hanya mempunyai akal dan rohani tapi tidak mempunyai nafsu sedangkan setan hanya memiliki nafsu dan akal tetapi tidak memiliki rohani. Karena itu manusia di labeli dengan makhluk yang sempurna. Jangan sampai kita menjadi manusia yang Dzalimu Lil Nafsi yaitu manusia yang cenderung pada nafsu yang akhirnya menjadi dzalim, tetapi menjadi manusia yang Sabiqun bil Khairat. Aamiin

Sabtu, 21 Desember 2019

.

Ada kalanya sebuah luka hadir karena terluka atau bahkan melukai
Luka dari orang lain dan luka yang dibuat sendiri adalah sama-sama pedih
Mungkin hanya diri sendiri yang tau ketika luka yang dibuat sendiri itu hadir

Ketika diri merasa menyakiti hati orang lain ada sebuah trauma yang mengikuti, sama dengan hati yang dilukai oleh orang lain. Kehadiran luka yang lama menyelimuti dan enggan lagi melakukan kesalahan yang sama. Takut akan hukum alam yang bekerja di dunia, diri sendiri pun enggan menjadi dungu jika melakukan hal yang sama. 
Rasa takut itu bertumbuh seiring dengan tumbuhnya waspada, ada hati orang lain yang harus dijaga. Rasanya enggan berurusan dengan hati jika didasari dengan keraguan. Ragu adalah tanda tak yakin yang bisa saja dicederai, entah sama sama menciderai atau salah satu dari nya. 
Entah rasa takut itu sulit dihilangkan, hingga waspada juga semakin tumbuh subur dan mengundang ego diri. Tidak mau menyakiti, wajar saja ketika ada yang hadir rasanya ingin bergegas pergi dan menghilang dari dunia. Bukan karena enggan menyambut, hanya saja takut menyakiti atau ketika kondisi hati sedang buruk waspada itu berubah menjadi takut untuk disakiti.
Entah juga, terkadang sulit untuk mengerti diri sendiri kenapa tak kunjung lepas dari rasa yang bertumbuh dari takut. Ingin rasanya menyalahkan ketulusan dulu terpelihara pada hati yang salah, tapi ada yang lebih baik dari itu yaitu mengikhlaskan  :)