Seminar Nasional BI dan ISEI
Kpw BI Yogyakarta, 7 Mei 2018
Seminar Nasional ini dimulai pukul 09.48 WIB, dibuka
dengan tarian yang bertema persahabatan dibawakan oleh sepasang penari
laki-laki dan perempuan dengan energik. Acara ini dihadiri oleh dosen ekonomi,
karyawan perusahaan dan para sarjana ekonomi yang terorganisasi di ISEI (Ikatan
Sarjana Ekonomi Indonesia). Sebelum memasuki acara inti yaitu penyampaian
materi seminar, Bapak Budi Hanoto selaku kepala kantor perwakilan BI Yogyakarta
membuka acara dengan sambutan mengenai keadaan pertumbuhan ekonomi Yogyakarta yang masih dominan pada
sektor wisata dan belum merambah pada sektor industri, hal ini merupakan
catatan penting untuk Kpw BI Yogyakarta untuk mendorong adanya forum investasi
untuk meningkatkan sektor industri di Yogyakarta guna bersinergi untuk
akselerasi ekonomi dalam menunjang kegiatan ekspor.
Sambutan kedua disampaikan oleh Bapak Mirza
Adityaswara selaku Deputi Gubernur Senior BI, beliau menyinggung perhatian
presiden terhadap ekspor. Kegiatan ekspor sudah digencarkan pemerintah sejak
tahun 1980-an hingga sekarang masih menjadi suatu hal yang harus terus
diperhatikan. Ekspor berkaitan erat dengan dukungan dalam pembiayaan dalam
negeri yang tidak cukup jika mengandalkan income
yang ada di dalam negeri. Ekspor dapat menjembatani suatu negara dalam
membangun dan menjalin relasi dengan negara lain guna menunjang kebutuhan dalam
negeri yang belum terpenuhi. Berbicara mengenai Amerika Serikat, Jika ekonomi
Amerika Serikat membaik, maka berdampak baik juga pada pertumbuhan ekonomi
dalam negeri maupun pada negara-negara lain mengingat Amerika Serikat sebagai
penyedia likuiditas, tetapi pertumbuhan ekonomi juga ada dampak yang harus
diwaspadai yaitu inflasi dimana banyak nya permintaan akan menyebabkan kenaikan
harga. Bunga normal suatu negara adalah 1% diatas tingkat inflasi, saat ini
Indonesia masih terkendali karena defisit dibawah 3% yang akan terus dijaga
stabilitasnya oleh BI. Ada wacana bahwasanya Indonesia, Malaysia dan Thailand
akan diversifikasi mata uang, tetapi masih dalam jangka panjang karena dinilai
sulit untuk menghilangkan behavior
perdagangan. Di Indonesia sendiri neraca perdagangan manufaktur labour & resource masih surplus sedangkan untuk high low skill & technology
intensive masih deficit. Oleh karena itu Indonesia membutuhkan industri
ekspor padat karya karena Indonesia memiliki lebih dari 250 juta penduduk. Selain
itu Indonesia juga memmbutuhkan pengusaha kelas menengah guna menyeimbangkan
neraca perdagangan. Pengusaha kelas menengah di Indinesia hanya 5,1 % sedangkan
untuk pengusaha kecil sebesar 93,47%, missing in the middle ini terjadi karena
tidak ada rantai produksi karena
Indonesia impor valas. Pesan untuk OJK adalah kredit oriented export harus tumbuh jangan hanya focus pada kredit oriented non export.
Setelah
adanya sambutan-sambutan, memasuki acara inti yaitu materi seminar. Pembawa
acara memperkenalkan moderator yaitu Muhammad Edhie Purnawan, anggota Eksekutif
Badan Supervisi Bank Indonesia (BSBI), Dosen senior program sarjana dan
pascasarjana FEB UGM. Selanjutnya moderator juga memperkenalkan
pemateri-pemateri mulai dari Reza Anglingkusumo, Edy Putra Irawadi, Ade
Sudrajat Usman, Raden Pardede, Darmawan Junaidi, TM.Zakir Syakur Machmud dan Adhi S Lukman.
Materi
pertama yaitu Pengembangan industri dari Bank Indonesia yang disampaikan oleh
Reza Anglingkusumo, pada hakikatnya ada dua indikator yaitu prospek
perekonomian dan industri padat karya & ekspor. Selama ini Indonesia
fundamental pertumbuhan cukup kuat
tetapi melambat dalam perjalanannya. Untuk mendukung percepatan dalam
hal ini Indonesia diharapkan dapat mendorong kegiatan ekspor industri manufaktur
karena tidak selamanya Indonesia hanya mengandalkan SDA dan bahan mentah yang
di impor sehingga bernilai rendah. Indonesia harus meningkatkan neraca
perdagangan dan industri pengolahan guna mendukung percepatan pertumbuhan
ekonomi. Bidang Industri di Indonesia dengan menggunakan padat karya maka akan
berpengaruh dalam pertumbuhan, stabilitas dan pemerataan ekonomi. Saat ini
Indonesia dalam kegiatan industri terkendala infrastruktur dan upah tenaga
kerja, selain itu industri dalam kegiatan ekspor terkendala masalah tariff dan
standar ekspor pada negara tujuan tertentu. Pemerintah diharapkan membuat
kebijakan untuk penurunan tarif ekspor dan memberi kemudahan tarif impor dalam
penyediaan bahan baku & mesin. Peran Bank Indonesia dalam hal ini adalah
berperan aktif dalam satgas percepatan reformasi struktural dan memfasilitasi
koordinasi pusat.
Pemateri kedua yaitu Edy Putra Irawady
menyampaikan tentang sinergitas kebijakan industri padat karya berorientasi
ekspor. Yang harus diperhatikan dalam industri padat karya berorientasi ekspor
adalah daya pikat, daya tarik dan daya saing. Cakupan industri padat karya
yaitu berupa non migas. Permasalahn industri yang ada di Indonesia yaitu
masalah SDM dan teknologi. Jika Indonesia tidak mau bergantung pada hutang,
maka harus ada orientasi dengan menghasilkan produk bernilai tinggi dengan
input yang rendah. Di Indonesia hanya karet yang mempunyai world class standard, harus ada perkembangan produk dengan market intelligence (sebuah strategi
yang dapat dilakukan oleh semua perusahaan untuk memperoleh informasi
dengan pengumpulan data dan analisis pasar yang sesuai dengan keadaan
pasar saat ini). Pola industri di Indonesia meskipun lokal market lebih
nyaman dari pada ekspor.
Pemateri
ketiga adalah TM. Zakir Syakur Machmud perwakilan dari kementrian perindustrian
yang akan berbicara mengenai prospek dan peran pemerintah dalam mendorong
penguatan industri nasional khususnya industri padat karya berorientasi ekspor.
Indonesia mempunyai basis komoditi antara lain, migas, batu bara,hutan dan
rempah-rempah tetapi Indonesia selamanya tidak bisa hanya mengandalkan basis
komoditi yang dimiliki. Industri merupakan solusi Indonesia dalam mendorong
perekonomian. Industri berorientasi pada QPID (Quality, Price, Innovasion and Delivery) yaitu Quality yang berorientasi pada kompetitif dalam hal kualitas, Price yang dimaksud adalah secara
produksi efisien, terjangkau dan laku di pasar, Innovation adalah berbicara mengenai produktivitas yang dihasilkan
untuk keberlanjutan barang/jasa, dan Delivery
yang dimaksud adalah pelayanan yang ditujukkan pada konsumen. Kementrian
perindustrian mencanangkan program “Making
Indonesia 4.0” yang beroorientasi pada perubahan global manufaktur. Kenapa industri
manufaktur? Karena industri manufaktur dalam sumbangan pertumbuhan ekonomi
cukup besar yaitu sebesar 20% lebih besar dari pada yang lain, yang secara
langsung mempengaruhi jumlah PDB. “making
Indonesia 4.0” berfokus pada 5 sektor yaitu industri makanan dan minuman,
TPT (Tekstil dan Produk Tekstil), kimia, otomotif dan elektronik. Langkah aksi
dari “making Indonesia 4.0” adalah
insentif teknologi, investor roadshow, pendidikan vokasi, pusat inovasi dan
dukungan untuk UMKM.
Pemateri
keempat yaitu Raden Pardede yang menyampaikan perihal prospek industri padat
karya berorientasi ekspor. Kondisi industri sekarang di Indonesia tidak lebih
baik dari pada tahun 1980-an, karena pemahaman masyarakat Indonesia yang salah
bahwasanya Indonesia itu kaya. Pernyataan Indonesia tidak kaya bisa dibuktikan
dengan perbandingan antara Sumber Daya Lingkungan dengan jumlah penduduk
Indonesia. Pemahaman yang salah ini menyebabkan produktivitas masyarakat
Indonesia menurun dan cenderung bergantung pada pemerintah. Pemahaman ini harus
diubah dengan bekerja keras dalam rangka meningkatkan perumbuhan ekonomi dan
pemerataan ekonomi. Indonesia mempunyai peluang dalam ruang untuk berkembang
dan mengejar masih terbuka lebar. Negara maju sudah dalam tahapan puncak yaitu
melakukan inovasi sedangkan Indonesia masih fokus dalam pertumbuhan ekonomi. Berikut
arus perdagangan yang terjadi di Indonesia pada umumnya:
Pada kolom platform dapat dianalisis bahwasanya, hal ni
dapat memotong adanya tengkulak yang dapat meningkatkan harga yang berasal dari
industri manufaktur. Platform merupakan media yang dapat memudahkan pengusaha
dalam memsarkan produk kepada konsumen tanpa batas. Dengan platform pengusaha
dapat mengenal konsumen melalui market intelligence. Peran pemerintah dalam
mengentaskan permasalahan industri adalah dengan melakukan riset pada penyakit
masing-masing industri dengan mrestrukturisasi industri dan memegang prinsip
prioritas industri yang dapat mendorong pertumbuhan ekonomi.
Pemateri kelima yaitu dari Bank Mandiri, Darmawan Junaidi
yang menyampaikan perihal peran perbankan dalam pengembangan dan pembiayaan industri
makanan & minuman dan tekstil. Saat ini Indonesia tergolong dalam middle income countries, yang mempunyai
tantangan besar yaitu Middle Income Trap (MIT)
atau ketidakmampuan sebuah negara dalam meningkatkan pendapatan perkapita yang
disebabkan oleh beberapa faktor. Menteri keuangan, Sri Mulyani berpendapat
bahwa untuk terhindar dari MIT ada 4 faktor peluang yaitu bonus demografi,
urbanisasi, harga komoditi global yang melemah guna mendorong diversifikasi
ekononomi dan perubahan ekonomi China mendorong kenaikan upah buruh di China yang menciptakan
peluang berkembangnya investasi pada sektor ekspor padat karya. Peluang ini
dapat mendorong terciptanya perkembangan industri padat karya. Pada tahun 2015,
industri makanan & minuman dan industri
TPT menyerap lebih dari 2 juta tenaga kerja. Namun dua industri tersebut
cenderung standar sehingga kurang adanya produktivitas dan kesempatan tenaga
kerja lain dikarenakan aktivitas ekspor kurang dari impor dalam bidang industri.
Bank Mandiri ikuut serta mendorong pertumbuhan industri makanan & minuman dan
industri TPT melalui penyaluran KUR (Kredit Usaha Rakyat) hal ini dalam rangka
memfasilitasi dan memotivasi masyarakat. Selain dua industri tersebut, Bank
Mandiri melalui study case dengan bekerjasama
untuk penyaluran KUR sektor perikanan dengan PT. Kelola Mina Laut di Gresik
dengan perusahaan off taker dapat
menjamin kelangsungan bahan baku bagi sub-industri pengolahan dan pengawetan
ikan dan biota air yang penjualannya berorientasi ekspor. Tujuannya yaitu untuk
surplus ekspor, Bank Mandiri terdapat program tematik sesuai dengan
wilayah-wilayah di Indonesia untuk menunjang kebutuhan sektor perikanan dalam
rangka aktivitas ekspor.
Pemateri keenam yaitu Adhi S Lukman, Ketua Asosiasi
Industri Makanan & Minuman Indonesia yang membahas mengenai prospek industri
padat karya berorientasi ekspor makanan & minuman. Saat ini fokus dari industri
makanan & minuman yaitu daerah luar pulau Jawa dalam mengembangkan
permintaan konsumen untuk produk mamin. Indonesia masih mengahrapkan industri
mamin dapat berkembang seperti di Thailand yang menjadi negara dengan industri
mamin terkuat se ASEAN. Industri mamin juga masuk dalam 5 sektor dalam making Indonesia 4.0, untuk
mewujudkannya Indonesia perlu adanya pendidikan vokasi untuk menunjang
produktivitas. Dimana pendidikan vokasi dianggap mampu menghasilakn lulusan
dengan keahlian terapan tertentu sehingga lebih menguasai dalam hal
produktivitas barang ataupun jasa. making
Indonesia 4.0 juga bertujuan mengubah mental masyarakat Indonesia dalam mewujudkan
industri padat karya berorietasi ekspor.
Pemateri keenam yaitu Ade Sudrajat, Ketua Asosiasi
Pertekstilan Indonesia yang membahas mengenai industri TPT Indonesia yang
cenderung stagnan. Permasalahn industri TPT yang menyangkut tenaga kerja, akses
pasar, kapabilitas dan kemampuan industri local, serta kebijakan pemerintah
mengenai tarif ekspor dan impor yang menghambat produktivitas industri TPT. Tantangan
untuk Indonesia di semua bidang industri adalah tenaga kerja, dimana
permasalahannya mengenai tenaga kerja siap pakai yaitu SMK yang belum tentu
mampu dan ahli dalam hal produktivitas, tenaga kerja yang tepat dalam kategori
tenaga siap pakai adalah lulusan pendidikan vokasi yang sudah dianggap mampu
dalam keahlian produktivitas. Selain itu workweek
(hour) Indonesia hanya 40 jam sedangkan
dibandingkan dengan Thailand yaitu 48 jam dan negara-negara maju yang lainnya
standard jam kerja dalam satu minggu sebanyak 48 jam. Permasalahan yang lain
yaitu akses pasar yang menyempit disebabkan shifting
order ke negara-negara yang memiliki tarif rendah dengan adanya persaingan
pasar. Selain itu permasalahan yang lain yaitu impor bahan baku dan tingginya
biaya ekonomi yang harus ditanggung oleh dunia usaha dalam menciptakan
produktivitas yang maksimal, dalam hal ini industri TPT mengharapkan pemerintah
meregulasi ulang terkait tarif dan biaya ekspor-impor. Tetapi sekarang industri
TPT mulai berkiblat ke kanan dengan memanfaatkan platform. Platform disini mendorong industri kreatif sebagai solusi
industri TPT untuk orientasi ekspor.
Pada dasarnya industri-industri yang ada di Indonesia
harus mengerti dan paham atas semua permasalahan yang ada. Sehingga ketika
pemerintah melakukan survei dapat menjelaskan secara tepat agar pemerintah juga
dapat mengambil langkah yang tepat dalam hal pembuatan regulasi industri.
Solusi pemerintah dalam hal berkompetisi dengan industri di luar negeri yaitu
dengan melakukan inovasi dan memanfaatkan dunia digital yang sudah mobile. Pemerintah mengharapkan
Indonesia menjadi negara dengan ekonomi khusus karena ekonomi khusus merupakan
alternatif untuk meningkatkan produktivitas dengan kreatifitas. Selain itu industri
dan pemerintah juga mengharapkan pendidikan vokasi terus dikembangkan agar
terciptanya tenaga kerja yang ahli dalam terapan tertentu sesuai dengan bidang
dalam rangka memperbaiki produktivitas industri.